Rabu, 11 Maret 2015

Cerpen Mengenang Riadatul Iftitah (OFDITA)

SAHABAT YANG TERKENANG Oleh : Fathorrozi Saat itu, Juli 2009 ia sudah beberapa hari menjalankan tugas yang diamanahkan bapak kepala MTs untuk menjadi panitia PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) Tapel 2010/2011. Ditemani tiga sahabatnya, ia tekun setiap hari _selain hari libur_ mengemban tugas di kantor. Tak luput pula pada hari itu, padahal di pagi menjelang siang di hari tersebut ia tengah kehadiran orang tuanya, sebab pada hari itu bertepatan dengan Acara Perpisahan Kelas XII sekaligus Penerimaan Raport Kelas X & XI. Ia _yang kala itu duduk di kelas XI_ tercatat sebagai peringkat pertama di kelasnya. Maklum, otaknya memang handal dan mampu diandalkan. Aku yang sejak Juli 2006 diangkat menjadi tenaga pendidik di MTs tersebut, sangat sering bertatap muka dengannya. Dan satu tahun dari itu _2007_ aku resmi bertunangan dengan gadis yang juga santri putri di pondok tersebut. Tapi bukan dia. Sebilah tulang rusukku itu semenjak lahir pada tanggal 29 Desember 1989 menyandang nama Fatna Harista. Sebuah nama yang memiliki arti “Kepandaian yang Harus Tetap Dijaga.” Dan dia yang kumaksud dalam kisah ini adalah Riadatul Iftitah, wanita kelahiran Bondowoso 09 Agustus 1992. Beberapa hari kemudian, Titah _demikian aku memanggilnya_ mulai kenal dan dekat denganku lantaran ia kerap membaca tulisanku yang dimuat di media cetak; koran maupun majalah. Lambat laun terbersit dalam hati, ia ingin belajar menulis padaku. “Aku ingin selalu dikenal dan dikenang,” kata Titah waktu itu. “Jangan hanya itu tujuanmu! Utamakan niat untuk dakwah bil qalam. Karena dakwah bil qalam, oplahnya lebih banyak daripada dakwah bil kalam. Jika dakwah bil kalam hanya didengar oleh orang di ruang itu, maka kalau dakwah bil qalam bisa pula didengar oleh orang di luar ruang, dan bukan hanya pada waktu itu, kapan saja dan di mana saja bisa,” ucapku menegaskan. Titah hanya manggut-manggut menangkap uraianku. “Ya, Ustadz. Aku mafhum.” Dari hari ke hari aku cekoki Titah dengan buku-buku bergizi tinggi. Tak lupa kuhidangkan pula buku berjudul Menulis Mari Menulis, Kiat-kiat Menjadi Penulis Muslim Kreatif, Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis, Dapur Kreatifitas dan buku-buku lain yang senyawa dengan cara menulis bagi pemula. Selang beberapa hari kemudian, ia kian dekat dan semakin bersahabat. Bahkan, aku lebih akrab memanggilnya Ukhti Titah dan ia lebih nyaman memanggilku Akhi Rozi. Sebuah sebutan kakak beradik. Sejak saat itu jiwa dan hatiku mulai merasa memiliki dua orang adik lain jenis. Satu adik tunangan, dan satu adik sahabat. Aku pun beranjak menapaki hidup dengan tampil sebagai seorang kakak terbaik. Namun, ternyata tak selamanya berjalan mulus. Beberapa kali kudapati batu sandungan, bahkan pernah pula tertusuk duri. “Titah kok dimanja banget sama kamu, Roz? Jangan-jangan mau disikat jadi tunangan kedua, ya?” duga teman seprofesiku. Sungguh kata-katanya mampu membuatku terusik. Rangkaian kalimatnya menjelma bara api yang menggelorakan seisi pikiran. Agak lama aku sengaja menghilangkan kontak dan menghentikan komunikasi bersama Titah. Sebab bukan hanya lantaran itu. Pemilik hatiku pun ternyata diam-diam merasa tidak senang dengan keakraban kami. Atau lebih tepatnya, ada gundukan sesuatu yang bercokol dalam hatinya. Maka, sontak aku menyikapi suasana keruh ini dengan memohon pengertian dari kedua belah pihak. Selang beberapa tahun kemudian, ketidaksukaan yang bermuara dari hati separuh jiwaku membanting setir, berbalik arah. Entah, penyebab apa yang menjadi perantara. Titah dan tunanganku akhirnya menjadi sahabat seiya-sekata, satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Seiring waktu, Titah memanggil tunanganku Mama, dan Papa sebagai panggilannya kepadaku. 07 Juli 2011 Tuhan menakdirkan aku dan tunanganku melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi. Dan tak kusangka, Titah yang kemarin tengah masygul dengan tugas-tugasnya di pondok, nyatanya ikut pula meramaikan acara sakral kami. Dua desa yang berjauhan dan belum pernah ia singgahi, tidak menjadi aral bagi Titah untuk membahagiakan kami dengan kehadirannya. Dua rumah kami sama-sama ia hadiri. Beberapa hari kemudian, kami menerima pernyataan dari ibunya, “Padahal saat acara pernikahan saudaranya di rumah, Titah lebih memilih untuk tetap di pondok daripada pulang. Dan untuk menghadiri acara pernikahan kalian, Titah memaksa bapaknya untuk memohonkan ijin pulang kepada Pak Kyai.” Kala itu ibunya berkisah kepada kami saat mengirim Titah di ruang pertemuan muhrim. Tak hanya itu, Titah _sahabat kami tersebut_ menyertakan surat di dalam kado. Sebagian baris dari salah satu risalah itu kuketik dalam narasi ini. Dan jauh sebelum takdir itu menimpanya, aku memang berjanji untuk mengabadikan suara hati yang ia tumpahkan dalam secarik kertas tersebut ke dalam kepingan kisah-kisahku. Kutitipkan hatiku ini untuk ikut bersama kalian, merasakan kebahagiaan seperti yang kalian rasakan. Terlalu melankolis memang, bila aku harus meneteskan banyak air mata untuk merelakan Papa sementara pergi dari sisiku, merelakan Mama sementara menghilang dari hari-hariku. Begitu berat untuk menanggungnya. Maaf. Terlalu sering aku merengek. Terlalu banyak aku meminta hanya untuk mendapatkan perhatian dari kalian berdua. Ma.... Pa.... kurelakan kalian pergi untuk kembali bersama air mata kebahagiaan. Dialah Titah sahabat kami yang sekarang tinggal nama dan kenangan. Sahabat yang begitu dekat, tetapi teramat singkat. Ia bisa menatap kami, namun kami tak mampu menjamah wujudnya. Semoga ia bahagia di alam barzah. Titah telah banyak meninggalkan puing-puing kenangan bagi kami. Ia sangat baik, perhatian, dan tegar. Ia meninggal pada hari Selasa, 25 Februari 2014 dengan membawa mimpi dan impian. Teramat banyak impiannya yang belum tergapai. Ia ingin sekali menjadi penulis hebat. Ia ingin kuliah dan menjadi mahasiswi terbaik di kampusnya. Ia sangat berharap kami cepat-cepat dikaruniai momongan, karena tangannya tidak sabar ingin segera menggendong bayi kami. Ia menanti takdir Tuhan menghadirkan jodoh sesuai dambaan sebagai penuntun dan pelipur lara di tengah keluarganya. Tapi ternyata, jauh sebelum itu terjadi, Tuhan telah mengundang Titah ke hadirat-Nya. Kasih sayang Tuhan kepadanya ternyata lebih besar daripada kami. Titah akan selalu kami ingat. Ia telah menularkan keharusan sikap seorang kakak kepada adiknya. Sikap orang tua kepada anak-anaknya. Sikap atasan kepada bawahannya. Tentang ketegaran dan ketabahan. Menghadapi hidup dengan senyum dan tawakal. Titah, semoga kau semakin bahagia di sana. Tunggu kami di firdaus-Nya!***

Cerpen Januari 2015

Kutemukan Cinta dalam Cinta-Nya Oleh : Fathorrozi Sungguh bukan niat menelantarkan ciptaan Allah. Bukan maksud menyia-nyiakan mahluk-Nya yang bernama wanita. Aku melajang hingga usia berkepala 3 lantaran aku mengantongi maksud tersendiri. Dan aku menyimpannya rapi sampai sekarang. Banyak sahabat dan sebagian ustadz bertanya sebab tak habis pikir dengan jalan yang kutempuh. Memang selama ini hanya kepada buku kucurahkan segala rasa, dan tentunya kuhaturkan pula gejolak ini kepada Rabb dalam setiap helaan napas. Beberapa bulan kemudian, saat jiwa terserang payah dalam menyembunyikan perasaan yang tersimpan rapat sebab desakan-desakan dari banyak pihak, maka lambat laun, sedikit demi sedikit suara terdalamku mulai terungkap. Kepada sahabat kukatakan sambil gurau, “Aku tak mau nikah kalau akhirnya kayak Muhlis. Dia yang kulitnya putih berubah hitam saat nikah karena setiap hari nyabit rumput untuk ternaknya. Jadi, aku tak mau nikah selama belum punya penghasilan tetap. Takut nantinya sengsara, kelaparan. Mau dikasih makan apa anak bini kalau tidak punya kerjaan mapan.” Meski benar, jawaban ini hanya 2% dari alasanku. Dan kepada ustadz Jakfar kuutarakan alasan, “Maaf, Ustadz. Aku takut nikah di akhir zaman seperti ini. Sulitnya mencari wanita shalihah di jaman sekarang sama persis dengan susahnya mencari jarum di tumpukan jerami.” Ya, itu saja penjelasanku. Lebih jelasnya cobalah bertanya kepada Sukran, sahabat yang dulu ketika nyantri sekamar denganku di Asrama Sunan Giri. Dia menjadi korban penghianatan wanita berperangai kurang baik. Pernikahan Sukran dengan Surti berakhir berantakan karena Surti gemar main kucing-kucingan dengan lelaki lain yang jauh lebih tampan, lebih tajir, lebih perfek dan lebih segalanya daripada Sukran. Betapa terenyuh aku mendengarnya. Dan jawaban ini mewakili sekadar 5% dari maksudku. Serta kepada keluarga kulahirkan jawaban, “Aku belum dewasa. Ilmuku masih teramat dangkal untuk menjadi imam. Aku butuh waktu untuk bisa menjadi nahkoda bahtera rumah tangga yang ideal. Mohon ijinkan aku menunda maksud kalian sementara waktu. Aku mohon. Dan maafkan aku!” Aku menyesal, baru kali ini seumur hidup aku kurang setuju dengan keputusan ibu dan saudara. Tapi, jujur suara itu memang bermuara dari dasar hati. Aku belum siap menjalani hidup seatap dengan wanita asing_yang kemudian akan lebih akrab kupanggil istri. Aku butuh waktu sesaat untuk menata hati dan berbagi. *** Satu tahun berikutnya. Saat matahari hendak kembali ke peraduan, sebagaimana biasa aku memikul air dari sumber mata air ke pesantren. Letak sumber tersebut tepat di samping kiri kediaman pengasuh, tapi agak jauh. Butuh sekitar sepuluh menit untuk sampai di sana. Dan tugasku mengambil air adalah untuk dituangkan ke penampungan besar di dapur keluarga pengasuh. Profesi sebagai pemikul air ini telah berlangsung selama dua tahun. Setibanya aku di sumber yang waktu itu tengah sunyi dari hiruk-pikuk santri lain dan penduduk sekitar yang hendak mengambil air, jiwaku dikerumuni ketakjuban. Karena tepat di pinggir barat sumber kutemukan seorang tua berjenggot putih sedang menenggak air putih dari botol beling putih yang bagian bawahnya terlihat hijau. Kulirik sepintas, lalu kuucapkan kalimat keselamatan, kemudian beralih kepada tujuan awal; mengangkut air. Tiba-tiba kakek berbusana dan bersorban putih itu angkat suara, “Namamu Rahman putra almarhum Kiai Haji Hadi, ya?” Seketika aku terlonjak. Bisa-bisanya beliau mengetahui namaku sekaligus mendiang bapak. Hatiku bertanya-tanya, siapa gerangan beliau? Dari mana beliau tahu namaku dan bapak? Belum sempat hatiku melanjutkan serentetan pertanyaan lain, beliau yang duduk bersila di kursi bambu panjang made in santri itu kembali bersuara, “Tidak usah bingung. Tak perlu repot-repot kau cari tahu tentangku. Aku hanya ingin menegaskan bahwa ada yang kurang dalam hidupmu. Kiai Dofir, pengasuh pesantrenmu itu, sudah diberi tahu. Dia sedang menyiapkan sesuatu untukmu.” Air dua timba sudah siap diangkut. Sebelum beranjak ke pesantren, di tengah rasa penasaran yang bersarang di ubun-ubun, kuhampiri beliau dengan perlahan. Kusalami tangan keriputnya. Tak disangka, seusai kusalami, beliau seketika berdiri, mengucap salam, lalu menjauh dari hadapanku. Sekali lagi, perasaan penasaran akan sosok miterius tersebut kian memburu dalam jiwa. Hingga kedua kaki berpijak di bumi pesantren, aku tetap dirundung rasa tak habis pikir. Selang beberapa menit kemudian, setelah kukeluar dari dapur keluarga pengasuh demi merampungkan tugas, tiba-tiba almukarram Kiai Dofir membuka pintu ruang tamu dan memanggilku. Aku segera mendekat memenuhi panggilan beliau. “Aku butuh waktu dan kesedianmu sebentar,” ucap kiai. “Inggih, Kiai,” aku menanggapi dengan kepala tertunduk dan kedua tangan bertumpu di pangkal paha. Kiai melirik kanan-kiri, depan dan belakang. Setelah memastikan suasana terjamin, beliau pun melanjutkan, “Tadi malam aku mimpi. Aku didatangi seorang laki-laki tua berjubah putih. Beliau meminta agar aku menjodohkanmu dengan putri bungsuku, si Zulfa. Insya Allah ini bukan mimpi sekadar mimpi, karena mimpi yang sama telah datang dalam tidurku selama tujuh malam.” Beliau menghela napas. Aku yang mendadak kaget juga menata napas. Beliau kemudian bertanya, “Bagaimana menurutmu, Man?” Aku diam seribu bahasa. Seakan mulutku terkunci untuk merespon. “Apa kamu mau istikharah dulu? Jangan anggap ini harga mati. Silahkan kamu pilih sendiri! Karena aku tak menjamin kamu akan hidup bahagia bila bersanding dengan Zulfa. Semua takdir di tangan Allah. Aku tidak boleh mendahului takdir. Sebagai orang tua, aku hanya berdoa yang terbaik,” tambah beliau dalam kebekuanku. Masih dalam posisi berdiri di depan pintu, aku tetap tak kuasa menjawab. Sungguh aku sangat bingung. Aku merasa sangat tak pantas berpasangan dengan putri kiai. Dan lebih tak masuk akal bila aku tak mengindahkan maksud luhur beliau. Tapi_,,,, Oh Allah, selama ini kucurahkan cinta hanya kepada-Mu, Pemilik Cinta Sejati. Aku hanya mencinta-Mu, sehingga aku meninggalkan waktu untuk memikirkan cinta terhadap selain-Mu. Jika aku membagi cinta kepada mahluk-Mu, aku takut cinta kepada-Mu perlahan terkikis. Namun Ya Allah, jika Engkau mengirimkan wanita shalihah yang terus memantau dan ikut menjaga keterjalinan cintaku kepada-Mu, maka kumohon mudahkan urusannya, bisik batinku. Tak kusangka dan tanpa kuduga dari arah belakang, perempuan setengah tua merangkulku. Tak lain dan tak bukan beliau adalah ibuku tercinta. “Doa ibu selalu untukmu, Nak. Sudah dua hari yang lalu Kiai Dofir beri tahu hal ini kepada ibu. Ibu menangis, Nak. Jujur, ibu nangis sedih karena ibu takut bila hasil istikharahnya tidak bagus. Tapi, Nak, ternyata sekarang ibu menangis bahagia, sebab ternyata hasil istikharahnya sangat bagus untuk dilanjutkan,” tutur ibu penuh gembira.***

Senin, 19 Maret 2012

Download Gratis Novel dan Kumpulan Cerpen pdf

Anda yang ingin merefresh pikiran yang sedari tadi terforsir oleh pekerjaan, atau Anda yang sejak tadi disibukkan oleh pemikiran yang serius. Saatnya untuk menyegarkan pikiran sembari menambah wawasan. Maka bacalah novel hasil karya satri 100% ini dengan judul Santri in Love. Bisa Anda download di sini : http://www.ziddu.com/download/18853686/NOVELSANTRIINLOVE.pdf.html. Jika ceritanya terlalu panjang dan harus butuh waktu yang relatif banyak, maka bacalah cerita pendeknya. Dapatkan kumpulan cerpennya di link berikut : http://www.ziddu.com/download/18855082/KumcerPilihanCAHAYADIATASJALANTERJAL.pdf.html dan http://www.ziddu.com/download/18855184/KUMPULANCERPENKITABCINTA.FathorRozi.pdf.html

Rabu, 03 November 2010

CERPEN

AKU BISA, KUAT DAN HEBAT
DALAM profil di layar ponselku, kurubah namanya dengan “AKU BISA, AKU KUAT, dan AKU HEBAT”. Kumaksudkan ketiga nama yang asalnya “Rapat, diam dan pager” itu sebagai pemotivasiku dalam segala gerak dan sepak terjangku. Kerap kali aku butuh sesuatu dari hand phone-ku __baik mau mendengar irama musik MP3, mau membalas SMS, mau mendapatkan informasi dari stasiun radio ataupun apalah lainnya__ mataku musti bertumpu pada nama profil itu.
Akupun dibuatnya terangsang untuk bersemangat. Ketika di kampusku, teman-teman sering berdebat dengan dosen soal seputar mata kuliah dan dengan lidah lincah berbahasa lugas mereka bisa mempresentasikan makalahnya dan memimpin diskusi, akupun yang keder jadi terpanggil untuk juga BISA.
Di saat diriku lelah untuk berkreativitas dan beraktifitas, mulai putus asa dengan segudang masalah yang menimpa, dan kecil hati sebab ketidaksamaan harta dengan teman-teman yang lain, di situlah aku harus mendongkrak diri untuk selalu tampil KUAT.
Begitu juga, di kala aku bersaing dengan mereka soal ilmu agama, bertarung dalam adu ilmu umum dan bertanding perihal tulis menulis dalam ranah kesusastraan, aku yang awalnya minder mengharuskan diri untuk lebih HEBAT ketimbang mereka. Hingga terkadang aku sering mengucilkan mereka dan menganggap mereka seperti monyet tak berekor, kingkong dungu, dan kera bahlul. Dan alhamdulillah, ternyata aku memang BISA, KUAT, dan HEBAT.
*****
Di antara teman-temanku di kampus, boleh dikatakan hanya aku yang tidak punya gebetan (pasangan ilegal). Bukannya aku tidak berkesempatan untuk mendapatkan ”bidadari kampus”, namun fikiranku masih belum melanglang jauh ke sana. Lagi pula, perkiraanku untuk menjalani masalah yang satu ini aku belum BISA, KUAT dan HEBAT. Di samping aku kere, keturunan wong melarat, bermuka berantakan, aku tidak punya daya andalan untuk diunggulkan di hadapan gadis-gadis kampus, aku jadi tidak berstamina untuk PD di muka mereka, aku juga masih belum BISA dan KUAT untuk dicacimaki tiada henti dan dicemooh habis-habisan oleh mereka, jika ternyata aku dan apa yang aku miliki tidak memenuhi persyaratan dalam penerimaan panah asmara yang mereka idolakan. Pendek kata, aku belum siap untuk menerima resiko jika kehadiranku mereka tolak.
Di sela masuk kuliah, baik ketika sabar menanti kedatangan dosen yang tidak tepat waktu dan pergantian mata kuliah yang berjarak panjang, maupun di saat kuliah usai, para mahasiswa dan mahasiswi memanfaatkan kesempatan emasnya untuk berpasang-pasangan ngobrol berduaan di kantin, bahkan bermesraan di taman kampus.
Dan tepat mata kuliah ditutup oleh dosennya pada suatu waktu, pertanda selesainya kuliah. Di samping kiri pohon pinus raksasa, sepasang insan tengah melepaskan kerinduannya, seolah telah berpisah dalam kurun waktu cukup lama. Mereka duduk di sebuah bangku di taman. Pandangan mereka lebih lama makin berkait erat seakan tak mau lepas. Mereka selalu punya alasan untuk bercakap-cakap sambil menatap. Aku yang mendapati mereka, spontan si mahasiswa mendampratku dengan kalimat : ”Makanya, cepat cari lowongan pacar jika kamu iri lihat kami beginian.”
Aku sudah hampir bosan dengan kata-kata SMS teman-teman mahasiswa seangkatanku yang terus memojokkanku, ketika sering kali mereka melihat aku duduk sendirian hanya ditemani setumpuk buku dan selonjor pena. Kalau cuma sebangsa ini : ”Slmt pgi cwok g’ norml, lg kspian y? Tiru q ne, pgangn tngan ma cwek jlita, pcarq yg k-29”, ”Dnia emng aneh, hr gni msh da cwok alergi tuk brpasangn? Cb U kluar skrng, llu liat q d bwh phon Akasia, q d dempet sm 2 cwek bruq lo,” itu mah sudah biasa ngeloyor ke layar Hp-ku. Sikapku enteng-enteng saja. Aku tak ambil pusing meluangkan waktu untuk menanggapi mereka. Aku kira bukan dunia yang aneh, tapi mereka justru yang aneh, menyambut kedekatan kiamat dengan moral bejat begituan.
Setiap kubuka pesan singkat bernada sok sombong dari teman-temanku, otomatis secara sadar mataku lebih dulu melejit menangkap 2 baris kata ”AKU BISA” sebagai profil di Hp-ku. Entah angin dari mana, syahdan nama profil itu seolah menghipnotisku. AKU BISA menyamai mereka. AKU KUAT menjadi seperti mereka. Bahkan, AKU HEBAT bila melebihi kemampuan mereka. Namun otakku terus melaju putar untuk atur siasat dan pasang strategi dalam mengambil langkah pasti, mencari kesempatan cemerlang untuk mengatur rencana di medan berkecamuk.
*****
Pada suatu pagi yang cerah, teman-temanku mengerumuniku yang tengah konsentrasi membaca sebuah buku Filsafat Ketuhanan yang baru kubeli di toko buku terkenal di kotaku. Baru saja staf TU memberi informasi bahwa dosen mata kuliah filsafat tidak bisa mengisi sebab mendadak meluncur ke rumah sakit saat mendengar anak asuhnya ketabrak lari ketika ingin berangkat ke kampusnya. Teman-temanku tak langsung pulang kendati sudah tahu kuliah pagi ini libur. Mereka bahkan menyempatkan diri melepas kangen kepada masing-masing pasangannya. Semakin mendekat langkah mereka ke arahku.
”Heh, friend. Gimana sih lu? Lu normal pa kagak?”
”Apa-apaan sih ini? Udah sana jangan ganggu belajarku!” usirku akan mereka.
”Kok gitu? Kami justru kasihan ama lu. Yang lain pada indehoy, cuma lu sendiri yang kesepian. Di sini bukan tempat belajar, tapi tempat kayak ginian nih ...... benar kagak, Ton? Ha ha ha ...,” suara Gafur mahasiswa semester V jurusan S, sembari melumat hangat bibir pacarnya.
”Benar, Bro. Masak sih sejak dulu kagak ada panas-panasnya. Atau mau dibantuin tah tuk nyari yang level buat lu, Ram? Pilih yang mana, Lilik yang ca’em plus berbokong semok, Luluk yang bertubuh seksi anak semeter III, atau Winda si pemilik mata elang putrinya dosen terbang, Bapak Fijar Alexandra itu? Ayo tinggal bilang mau yang mana?” tawar Anton ketua suku semester V SI.
”Ataukah lu mau dibuatin surat sebagai pengantar lemparan panah asmara? Tapi itu sudah kuno, Ram,” sela Nandiantoro si jago petuah-petuah jitu untuk kalangan pengemis cinta.
”Ahhhh,” aku berdiri ingin menghindar dari mereka. Tapi mereka bukan minggir melihat aku mau keluar, malah semakin merapat. Hatiku sebenarnya terketuk sedikit di saat menyerap untaian kata beracun mereka. Apalagi setelah itu mereka mengungkap masalah wisuda. Sungguh sangat sunyi ketika wisuda kelak di samping kita tiada pendamping, ungkap mereka.
”Kami tau kok, Ram, kalo lu sebenarnya ingin juga milih mahasiswi sini sebagai pendamping lu kala wisuda nanti. Tapi, kapan minat lu itu akan muncul tuk katakan cinta ama mereka? Mumpung sekarang, Ram,” bujuk Anton lagi.
”Eh, dengar ya! Aku tuh mudah banget nyari pendamping, apalagi butuhnya masih lama kalo mau dibuat pendamping wisuda. Walau wisuda mendadak besok misalnya, aku pasti bisa menggaet pendamping sekarang. Asal kamu tahu, aku hanya butuh 10 menit untuk mendapatkan cinta bidadari yang lebih bidadari dari bidadari yang kamu miliki itu,” seruku mulai naik pitam. Telunjukku mengarah ke pasangan teman-temanku yang lagi asyik-masyuk ngobrol agak jauh dariku.
”Biar cuma tidak tong kosong nyaring bunyinya, coba aja langsung buktiin omongan lu sekarang. Ayo, buktiin, kami mo tau!”
Kelincutan juga mereka malah menantangku, padahal itu terucap sebab saking muaknya aku akan sok ”aku”nya mereka, hanya keceplosan kata aku barusan. Entah siapa yang menuntun mulut dan lidahku. Tapi, masa pantas aku mau menyerah sebelum kalah, masa pantas bagiku mundur sebelum genderang ditabuh pertanda perang dimulai. Aku harus BISA, KUAT sebagaimana nama profil di Hp-ku. Bahkan, aku harus HEBAT biar tidak munafik terhadap apa yang sudah jadi komitmenku selama ini. Kubulatkan tekad untuk berani membuktikan janji yang tadi keceplosan kuucapkan. Dag-dig-dug juga debaran jantung kurasa. Sambil komat-kamit aku merapalkan doa semoga Tuhan memberkatiku, dan aku tidak ingin kembali dengan perasaan malu terhadap teman-temanku. Aku tidak ingin sekembalinya aku nanti membawa tangan hampa. Dan barang pasti, mereka akan menjulukiku ”pengumbar petir yang tak berhujan.”
Gontai kusengaja langkahku menderapi sisi koridor kampus, sambil mata menerawang ke dalam ruang kuliah yang dipadati mahasiswi, lebih didominasi cewek ketimbang cowoknya. Aku teringat akan sosok gadis elok yang sempat menubruk bahuku dari depan tadi, waktu tergesa-gesa masuk di depan pintu gerbang kampus, hingga buku yang kudekap berjatuhan seketika. Cindy Clara Prasinta. Ya, kuingat nama gadis itu. Gadis berlesung pipit itu biasa dipanggil Sinta. Entah bagaimana muasalnya dia diberi nama Sinta, apakah gara-gara tabir mulai tersingkap akibat kesamaan raut face-nya dengan Sinta yang sebenarnya dalam tahayul pewayangan dulu, ataupun yang lain, aku kurang tahu.
Percaya atau tidak, disadari atau tidak, kecantikan Sinta memang tidak perlu dibimbangkan. "Bunga kampus", "kembang kabupaten", begitu teman-temannya menjulukinya. Pantas memang. Akupun sempat tertarik untuk memikirkan Sinta dalam masalahku yang satu ini. Aku hilang akal, siapa gerangan yang mau aku tembak? Sintakah? Tapi apakah dia mau jika kurakit bilik separuh dari hatinya dengan hatiku, baik secara pura-pura atau benaran serius, baik sementara atau selamanya? Atau apakah lebih baik jika aku mencoba menuruti saran teman-temanku untuk mendempet Lilik, Luluk atau Winda sebagaimana yang mereka tawarkan? Bingung juga nich. Siapa yang sudi membantuku mempertahankan imageku seperti saat ini? Pasti akan kupanggil dia pahlawan berjasa terbesar dalam hidupku? Hatiku demikian tak beraturan. Seratus rasa bercampuraduk di benakku. Aku kikuk. Aku kelincutan. Akupun tak tahu bagaimana perasaanku.
Aku harus tegar. Aku harus BISA. Bisa tidak bisa, aku pasti BISA. Kalau ternyata tidak bisa, tetap aku harus bisa mebisakan diri menjadi BISA. Lalu kuatur siasat memantapkan langkah, berusaha tampil enjoy biar kelihatan tidak tegang. Aku langsung masuk ke ruang semester III setelah aku tahu dosennya telah menyudahi tugas mengajarnya. Ya, di dalam sana kulihat mahasiswi lagi sendirian tengah kemas-kemas literatur kuliahnya. Mudah-mudahan saja dia Sinta. Kebetulan, pikirku. Kudekati dia. Dia menolehku. Tak disangka, rupanya Luluk. Terlanjur wajahku terlihat olehnya, sekalian saja aku basa-basi lebih mendekat lagi ke arahnya, siapa tahu dia mau menolongku.
Tahu dia aku hampiri, buru-buru dia menghambur ke luar tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Dalam hati aku bertanya, ada apa dengan dirinya? Apakah takut akanku? Sambil berfikir, kududuk sebentar di bangku pojok depan paling utara. Seketika kukaget, di samping tempat dudukku ada sebuah ponsel bermerk Nokia Series N93. Milik mahasiswa semester III yang tadi ketinggalan, mungkin. Ke mana akan kucari orang pemilik Hp yang sangat mahal ini, sementara mahasiswa sudah pulang semua, hanya tinggal teman-temanku semester V yang ada di ruang jauh sebelah sana?.
Syahdan, otakku berfikir. Mungkin ada baiknya iseng-iseng aku tengok isi Hp ini, mungkin saja ada tanda identitas si pemilik. Segera kupencet tombolnya, foto cewek cantik terpampang sebagai walpaper, ternyata. Aduhai, betapa cantiknya pemilik Hp ini. Tak berlangsung lama, kemudian di luar kudengar suara langkah kaki orang tengah jalan tergopoh-gopoh. Langsung masuk dan heran melihatku lagi duduk di bangku yang mungkin tempat duduknya.
”Hei, kamu, ya? Ada apa kok kembali lagi?” sapaku. Kuteringat wajahnya, tapi di mana? Oh ya, ketika melabrakku tadi pagi. Tak lain dan tak bukan, pasti pemilik barang berharga ini. Sebab foto yang ada dalam layar ponsel ini persis sama dengan elok raut muka mahasiswi yang lagi ada di depanku ini.
”Eh, Kak. Kakak ga’ liat Hp-ku di sini? Tadi lupa ketinggalan?” tanyanya sambil mengusap keringat yang liar mengalir di leher jenjang dan dahinya. Mataku tidak mau berkedip menatap keasrian dan keindahannya.
“Oh. Inikah yang Adik maksud?” jawabku yang juga merupakan kalimat tanya. Kenapa dia tiba-tiba memanggilku kakak, padahal famili jauhpun juga tidak. Aku ikut-ikutan pula manggil dia adik guna menciptakan suasana keakraban.
“Benar, Kak. Terima kasih banyak ya, Kak?”
“Itu memang sudah kewajiban Kakak, Dik, untuk menolong sesama. Sebenarnya Kakak tadi ingin mengumumkan pemilik barang tersebut ataupun cari tahu orangnya. Tapi, ternyata orangnya sudah muncul terlebih dulu,” jawabku tangkas. “Oh, ya? Adik ini kan yang tadi itu, ya? Yang hampir terjadi tabrak maut sama Kakak di pintu gerbang?”
“Iya, maafkan Adik yang tadi, ya, Kak? Soalnya waktu itu Adik amat terburu-buru, berhubung di rumah Adik masih bantu-bantu orang tua menyiapkan sarapan hingga nyaris Adik lambat masuk kuliah.”
“Tidak apa-apa, kok. Apalagi tidak sengaja, sengaja pun juga no problem.”
“Ah, Kakak bikin Adik keki aja,” agak malu dia meresponku. “Memangnya Kakak dari tadi sedang nunggu siapa kok berada di ruangan ini?”
Hampir saja aku lupa akan maksud awalku memasuki ruangan ini. Untungnya gadis ini menyadarkanku. “Oh ya? Kebetulan sekali. Kalau Kakak boleh jujur, sedari tadi Kakak di sini bermaksud mau ketemu Adik. Kakak minta kesediaan Adik untuk menolong Kakak.”
“Perihal apakah gerangan yang dapat Adik bantu buat Kakak?”
Aku pun mulai bercerita dari depan, namun tidak terlalu panjang sebab khawatir teman-temanku sudah pada angkat kaki dari ruang semester V karena tidak sabar menanti kedatanganku yang tentunya berhasil menggandeng tangan seorang gadis. Dia pun dengan tulus hati sudi membantuku untuk berpura-pura menjadi kekasih pujaanku. Segera saja aku sama “pacar palsuku” itu, jalan berdempetan sambil bergandengan tangan dari jauh menuju teman-temanku, biar nanti tidak canggung bicara romantis di depan teman-temanku.
“Betulkah nama Adik, Sinta? Lengkapnya, Cindy Clara Prasinta?”
“Betul, Kak. Nama Kakak sendiri Rama, ya?”
“Begitulah. Panjangnya, Satria Romo Wangun. Tapi, teman-teman Kakak sudah terbiasa manggil Kakak dengan sebutan Rama. Oh ya, kalau boleh Kakak tahu, Adik tahu nama Kakak dari mana?”
“Dari majalah. Majalah kampus terbitan bulan kemarin kan memuat Opini Sastra karya Kakak? Masak Kakak sendiri lupa, sih? Itu tuch, yang juga mencantumkan foto Kakak tengah berdiri lagi baca puisi?”
“Oh, iya, ya. Hampir pikun nih Kakak.”
“Ih, Kakak masih belum punya anak sudah pikun. Tidak boleh pikun lho, Kak.”
Tak terasa sejauh kami berbincang akrab sembari jalan erat bergandeng tangan, “mata nampak” maupun “mata sembunyi” sana-sini, kanan-kiri kami sedang menyoroti dan mengabadikan kelakuan kami berdua. Lalu tibalah kami di penghujung ruang semester V. Teman-teman masih ada di dalam ruangan. Aku suruh Sinta untuk sembunyi.
“Lama amet sih lu? Mana bukti yang kata lu tadi mudah banget tuk nembak cewek jika lu emang berkenan? Mana? Mana? Ayo, tunjukin?” kata Anton mulai beringas.
“Sabar dikit kenapa sih? Bukanlah pujangga muda namanya, kalau cuma bicara tanpa bukti. Setiap perkataanku, pasti bisa aku pertanggungjawabkan,” aku juga tidak kalah saing ketidaksabarannya.
“Ya, tapi mana? Toch sekalipun ada cewek yang sebegitu cepatnya suka ama lu, paling-paling cewek waria jalanan yang pelanggannya udah muak ngeliat mukanya, atau kalo tidak, nenek ompong yang nyawanya udah tinggal satu-dua,” seloroh Gafur sekenanya.
“Ok, akan aku buktikan. Tunggu saja di sini! Kupanggil dulu pacarku.”
*****
“Benar, kalo lu nih pacar si Rama?” tanya Andiantoro setengah ternganga tidak percaya ketika kuperlihatkan “pacar palsuku” itu ke hadapannya. Kumengerti akan ketakjubannya dan juga dari mimik teman-teman lain yang bergelimang kemustahilan di benaknya, tersirat keanehan karena cewek yang nampak di pelupuk mata mereka kali ini amatlah lewat keelokan rona wajahnya, melebihi kecantikan wajah cewek tercantik yang mereka kenal selama ini.
“Benar. Mas Rama ini adalah pacarku. Dia sayang aku dan aku lebih jauh lagi sangat sayang sama dia. Dan jika bersamaan dengan ridha Tuhan dan dapat restu dari kedua orang tua kami, maka perhubungan yang telah kami rajut selama ini akan kami lanjutkan sampai ke istana pernikahan. Betulkah begitu, Mas?”
Sungguh ungkapan kalimat Sinta ini jauh dari jangkauan pradugaku sebelumya. Aku tidak menyangka dia akan sampai sejauh itu mempresentasikan kepura-puraannya sebagai pacarku. Lupa tadi aku tidak beri dia batasan-batasan untuk mengutarakan sekelumit tentang perjalanan “asmara mitasi” antara aku dengan dia di depan teman-teman. Biarlah sudah, nasi telah jadi bubur.
“I ... iy .... iya, betul sekali,” jawabku gugup.
“Oh, my good. HEBAT amet lu, Jack? BISA mengejarku lewat jalur kiri, bahkan tidak pakai klakson? Ga’ nyangka gue ama lu.”
“Ha...ha...ha. Itulah aku. Memang selalu ada di luar batas sangkaan orang. Makanya, kalau cuma punya cewek tidak usah berlagak sombong di mataku. Kalau ternyata sudah seperti ini kan kalian sendiri yang kalah,” ucapku mengucilkan mereka yang sekali punya keistimewaan, spontan angkat bahu plus membusungkan dada. ”Ya sudah, ayo Dinda kita ke restoran, makan siang dulu baru setelah itu akan Mas antar Dinda ke rumahnya. Ayo cepat, nanti malah mengalir deras air liur mereka hanya disebabkan tidak tahan melihat keserasian kita dalam memadu kasih!” ajakku pada Sinta agar segera cepat jauh melangkah dari mereka, takut mereka malah memperpanjang mengusut jadian mendadak kami ini.
Dikala sampai di luar, ingin kulepas dengan sigap tanganku yang sejak tadi menggenggam tangan Sinta. Urusannya sudah berakhir, begitu alasanku. Namun rupanya Sinta justru mempererat genggamannya. Aku tak habis pikir, ada apa dengan Sinta?
“Sin, kenapa tidak kau lepaskan tanganmu dari tanganku?” tanyaku.
“Ya, pingin aja. Kalo perlu, aku ingin memberinya lem, biar kita terus bergenggaman tangan seperti ini?”
“Sin, tugasmu sudah selesai. Aku yang minta bantuanmu sudah usai,” sergahku.
“Kalo aku penginnya kita seperti ini terus, kamu mau apa? Keberatan? Apakah kamu tidak mencerna apa yang telah kukatakan pada teman-temanmu tadi itu? Sungguh perkataanku yang tadi murni bersumber dari relung hatiku yang paling dalam. Bukan kepura-puraan. Sungguh mati itu benar apa adanya. Aku hanya sebagai pelantara karena hatiku tidak bisa menyampaikan sendiri rasa ini padamu.”
“Tapi, Sin .....”
“Rama, tolong dengarkan aku! Oh ya, apakah kita mau duduk-duduk santai sambil berbincang?” pertanyaan sekedar iseng. Buktinya masih belum aku menjawabnya, Sinta telah lebih dulu duduk di kursi bambu renta. Lanjutnya kemudian....”Kalau boleh aku bicara jujur, aku sudah dulu ingin mengutarakan perasaan ini padamu, tapi sayang ketika aku dekati kamu, kamu selalu menghindar. Bahkan kejadian yang tadi pagi di pintu gerbang itu, semata berangkat dari kesengajaanku, karena aku ingin bertukar sapa sama kamu. Namun ketika kuucapkan maaf atas kecerobohanku, kamu malah tidak menjawabnya. Dan ternyata Sang Maha Kuasa memang berkehendak nama kita abadi menjadi sepasang kekasih selamanya .Seabadi Rama-Sinta dalam kisah dulu. Itu terbukti dengan insiden tadi. Oleh-Nya aku dikaruniai kesempatan untuk mengungkapkan isi hatiku ini padamu yang sejak lama kupendam, toch meskipun tak secara langsung. Sekalipun pada awalnya berpura-pura.”
“Sinta .... apakah benar apa yang kudengar ini bermuara dari lubuk hatimu yang terdalam?”
“Benar, Rama. Kamu tidak mimpi. Apa yang aku katakan sejak tadi itu benar.”
“Sekali lagi kutanya, apakah benar kamu sungguh sayang padaku?”
“Sebagaimana yang kamu rasakan saat ini,” di luar sepengetahuanku, hidung Sinta telah mendarat di pipiku. Kedua tanganku dia ambil, aku ditarik untuk berdiri. Dengan mesranya dia peluk erat tubuhku, akupun lebih erat peluk tubuhnya.
“Inilah jawabannya, Sayang!” tegas Sinta.***

PUISI

CUPLIKAN BAJING NEGARA
Hai, anak buahku bajing kelas teri....
Sirnalah kamu dari bumi ini!
Aku muak punya bawahan kamu
Disuruh memperkosa malah bermesra
Disuruh merampok malah hisap rokok
Tirulah atasanmu ini!
Merampok, merampas hak rakyat sudah wajar
Memperkosa, barter istri memang sarapanku tiap pagi
Jatah kurang, nyolong ekor biasaku
Bajing negara kelas kakap kini julukanku
Hai, pencuri kampungan....
Dasar pencuri tanggung...
Kamu curi ayam akan dihukum
Sebab labamu tidak cukup menyuap
Tirulah aku....!
Curi milyaran uang, tapi hidup segar di alam bebas
Jadi...... kusarankan untuk malam berikutnya
Curilah tanpa topeng!
Biar orang tidak menilaimu maling
Pakailah dasi!
Agar mereka kira kamu wakilnya yang jujur dan kaya raya
Wahai bajing kelas teri.....
Wahai pencuri kampungan......
Sekali basah, mandilah sekalian!
Jember, 23 Maret 2010

PUISI

GETARAN SUKMA
Pada gerimis kutitip lembar
Tangisan embun kian pudar
Kumenari petir menyambar
Hatiku jauh terlempar
Hingga sayap tak tergelepar
Meski cinta jatuh terkapar
Meski ingin terus terdampar
Dan menganga tanda lapar
Robby…..
Ke mana arah tuk kuantar
Jikalau cinta bagai halilintar
Derasan asa terus lancar
Omong kosong menjadi dasar
Anugerahi hamba setonggak sabar
Tuk menangkap udara pengibar
Biar sukma hantam akar
Lalu jiwa benderang binar
Meniti lembayung yang tergetar
Tuk laju dan maju tak gentar.
Sumenep, 28 Mei 2009

PUISI

KANDANG SUCI
Aku lebih senang mengatakan tempatku ini kandang suci
Tidak seperti kebanyakan orang yang lebih suka menyatakan penjara suci
Karena aku tak pernah merampok, korupsi dan memperkosa
Di sini, di tengah dan di sudut kandang, telur-telur berserakan
Serupa dalam warna putih
Dan aku sendiri termasuk di antara telur itu
Telur-telur diperam dengan kasih sayang sang induk
Kadangkala bulunya dikibas buat membersihkan
Bila bekas kakinya terinjak kotoran basah yang menempel di kulit kami
Telur-telur berlama hari terus dipantau
Disimpan di keteduhan harap bisa diharapkan
Induk berang bila terdapat tangan jahil ingin mengalihkan
Terkadang menyambar jika tetap tak tahan
Telur-telur itu tertata rapi dalam kandang yang terkubang
Wajah-wajah kulitnya putih natural tanpa tipuan
Para mahluk menggelayutkan harap
Kelak ketika menyembul dari tapaan berguna bagi sekeliling
Bisa dijadikan kiblat dan madzhab dalam bertingkah dan menyembah
Dan kini, di pucuk malam di sepuluh terakhir dari bulan suci ini, aku bertanya, ”Akankah telur-telur putih itu nanti menetas dengan berbulu putih-putih? Jika tidak, aku termasuk anak ayam berbulu putihkah atau hitamkah atau bahkan tidak berbulu apa-apa?”
Sejenak aku bermunajat, “Ya Tuhan, tetaskan aku, juga yang lain dengan membawa bulu sewarna kulit waktu diperam!”
Garahan, 03 September 2010