Rabu, 11 Maret 2015

Cerpen Mengenang Riadatul Iftitah (OFDITA)

SAHABAT YANG TERKENANG Oleh : Fathorrozi Saat itu, Juli 2009 ia sudah beberapa hari menjalankan tugas yang diamanahkan bapak kepala MTs untuk menjadi panitia PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) Tapel 2010/2011. Ditemani tiga sahabatnya, ia tekun setiap hari _selain hari libur_ mengemban tugas di kantor. Tak luput pula pada hari itu, padahal di pagi menjelang siang di hari tersebut ia tengah kehadiran orang tuanya, sebab pada hari itu bertepatan dengan Acara Perpisahan Kelas XII sekaligus Penerimaan Raport Kelas X & XI. Ia _yang kala itu duduk di kelas XI_ tercatat sebagai peringkat pertama di kelasnya. Maklum, otaknya memang handal dan mampu diandalkan. Aku yang sejak Juli 2006 diangkat menjadi tenaga pendidik di MTs tersebut, sangat sering bertatap muka dengannya. Dan satu tahun dari itu _2007_ aku resmi bertunangan dengan gadis yang juga santri putri di pondok tersebut. Tapi bukan dia. Sebilah tulang rusukku itu semenjak lahir pada tanggal 29 Desember 1989 menyandang nama Fatna Harista. Sebuah nama yang memiliki arti “Kepandaian yang Harus Tetap Dijaga.” Dan dia yang kumaksud dalam kisah ini adalah Riadatul Iftitah, wanita kelahiran Bondowoso 09 Agustus 1992. Beberapa hari kemudian, Titah _demikian aku memanggilnya_ mulai kenal dan dekat denganku lantaran ia kerap membaca tulisanku yang dimuat di media cetak; koran maupun majalah. Lambat laun terbersit dalam hati, ia ingin belajar menulis padaku. “Aku ingin selalu dikenal dan dikenang,” kata Titah waktu itu. “Jangan hanya itu tujuanmu! Utamakan niat untuk dakwah bil qalam. Karena dakwah bil qalam, oplahnya lebih banyak daripada dakwah bil kalam. Jika dakwah bil kalam hanya didengar oleh orang di ruang itu, maka kalau dakwah bil qalam bisa pula didengar oleh orang di luar ruang, dan bukan hanya pada waktu itu, kapan saja dan di mana saja bisa,” ucapku menegaskan. Titah hanya manggut-manggut menangkap uraianku. “Ya, Ustadz. Aku mafhum.” Dari hari ke hari aku cekoki Titah dengan buku-buku bergizi tinggi. Tak lupa kuhidangkan pula buku berjudul Menulis Mari Menulis, Kiat-kiat Menjadi Penulis Muslim Kreatif, Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis, Dapur Kreatifitas dan buku-buku lain yang senyawa dengan cara menulis bagi pemula. Selang beberapa hari kemudian, ia kian dekat dan semakin bersahabat. Bahkan, aku lebih akrab memanggilnya Ukhti Titah dan ia lebih nyaman memanggilku Akhi Rozi. Sebuah sebutan kakak beradik. Sejak saat itu jiwa dan hatiku mulai merasa memiliki dua orang adik lain jenis. Satu adik tunangan, dan satu adik sahabat. Aku pun beranjak menapaki hidup dengan tampil sebagai seorang kakak terbaik. Namun, ternyata tak selamanya berjalan mulus. Beberapa kali kudapati batu sandungan, bahkan pernah pula tertusuk duri. “Titah kok dimanja banget sama kamu, Roz? Jangan-jangan mau disikat jadi tunangan kedua, ya?” duga teman seprofesiku. Sungguh kata-katanya mampu membuatku terusik. Rangkaian kalimatnya menjelma bara api yang menggelorakan seisi pikiran. Agak lama aku sengaja menghilangkan kontak dan menghentikan komunikasi bersama Titah. Sebab bukan hanya lantaran itu. Pemilik hatiku pun ternyata diam-diam merasa tidak senang dengan keakraban kami. Atau lebih tepatnya, ada gundukan sesuatu yang bercokol dalam hatinya. Maka, sontak aku menyikapi suasana keruh ini dengan memohon pengertian dari kedua belah pihak. Selang beberapa tahun kemudian, ketidaksukaan yang bermuara dari hati separuh jiwaku membanting setir, berbalik arah. Entah, penyebab apa yang menjadi perantara. Titah dan tunanganku akhirnya menjadi sahabat seiya-sekata, satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Seiring waktu, Titah memanggil tunanganku Mama, dan Papa sebagai panggilannya kepadaku. 07 Juli 2011 Tuhan menakdirkan aku dan tunanganku melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi. Dan tak kusangka, Titah yang kemarin tengah masygul dengan tugas-tugasnya di pondok, nyatanya ikut pula meramaikan acara sakral kami. Dua desa yang berjauhan dan belum pernah ia singgahi, tidak menjadi aral bagi Titah untuk membahagiakan kami dengan kehadirannya. Dua rumah kami sama-sama ia hadiri. Beberapa hari kemudian, kami menerima pernyataan dari ibunya, “Padahal saat acara pernikahan saudaranya di rumah, Titah lebih memilih untuk tetap di pondok daripada pulang. Dan untuk menghadiri acara pernikahan kalian, Titah memaksa bapaknya untuk memohonkan ijin pulang kepada Pak Kyai.” Kala itu ibunya berkisah kepada kami saat mengirim Titah di ruang pertemuan muhrim. Tak hanya itu, Titah _sahabat kami tersebut_ menyertakan surat di dalam kado. Sebagian baris dari salah satu risalah itu kuketik dalam narasi ini. Dan jauh sebelum takdir itu menimpanya, aku memang berjanji untuk mengabadikan suara hati yang ia tumpahkan dalam secarik kertas tersebut ke dalam kepingan kisah-kisahku. Kutitipkan hatiku ini untuk ikut bersama kalian, merasakan kebahagiaan seperti yang kalian rasakan. Terlalu melankolis memang, bila aku harus meneteskan banyak air mata untuk merelakan Papa sementara pergi dari sisiku, merelakan Mama sementara menghilang dari hari-hariku. Begitu berat untuk menanggungnya. Maaf. Terlalu sering aku merengek. Terlalu banyak aku meminta hanya untuk mendapatkan perhatian dari kalian berdua. Ma.... Pa.... kurelakan kalian pergi untuk kembali bersama air mata kebahagiaan. Dialah Titah sahabat kami yang sekarang tinggal nama dan kenangan. Sahabat yang begitu dekat, tetapi teramat singkat. Ia bisa menatap kami, namun kami tak mampu menjamah wujudnya. Semoga ia bahagia di alam barzah. Titah telah banyak meninggalkan puing-puing kenangan bagi kami. Ia sangat baik, perhatian, dan tegar. Ia meninggal pada hari Selasa, 25 Februari 2014 dengan membawa mimpi dan impian. Teramat banyak impiannya yang belum tergapai. Ia ingin sekali menjadi penulis hebat. Ia ingin kuliah dan menjadi mahasiswi terbaik di kampusnya. Ia sangat berharap kami cepat-cepat dikaruniai momongan, karena tangannya tidak sabar ingin segera menggendong bayi kami. Ia menanti takdir Tuhan menghadirkan jodoh sesuai dambaan sebagai penuntun dan pelipur lara di tengah keluarganya. Tapi ternyata, jauh sebelum itu terjadi, Tuhan telah mengundang Titah ke hadirat-Nya. Kasih sayang Tuhan kepadanya ternyata lebih besar daripada kami. Titah akan selalu kami ingat. Ia telah menularkan keharusan sikap seorang kakak kepada adiknya. Sikap orang tua kepada anak-anaknya. Sikap atasan kepada bawahannya. Tentang ketegaran dan ketabahan. Menghadapi hidup dengan senyum dan tawakal. Titah, semoga kau semakin bahagia di sana. Tunggu kami di firdaus-Nya!***

Cerpen Januari 2015

Kutemukan Cinta dalam Cinta-Nya Oleh : Fathorrozi Sungguh bukan niat menelantarkan ciptaan Allah. Bukan maksud menyia-nyiakan mahluk-Nya yang bernama wanita. Aku melajang hingga usia berkepala 3 lantaran aku mengantongi maksud tersendiri. Dan aku menyimpannya rapi sampai sekarang. Banyak sahabat dan sebagian ustadz bertanya sebab tak habis pikir dengan jalan yang kutempuh. Memang selama ini hanya kepada buku kucurahkan segala rasa, dan tentunya kuhaturkan pula gejolak ini kepada Rabb dalam setiap helaan napas. Beberapa bulan kemudian, saat jiwa terserang payah dalam menyembunyikan perasaan yang tersimpan rapat sebab desakan-desakan dari banyak pihak, maka lambat laun, sedikit demi sedikit suara terdalamku mulai terungkap. Kepada sahabat kukatakan sambil gurau, “Aku tak mau nikah kalau akhirnya kayak Muhlis. Dia yang kulitnya putih berubah hitam saat nikah karena setiap hari nyabit rumput untuk ternaknya. Jadi, aku tak mau nikah selama belum punya penghasilan tetap. Takut nantinya sengsara, kelaparan. Mau dikasih makan apa anak bini kalau tidak punya kerjaan mapan.” Meski benar, jawaban ini hanya 2% dari alasanku. Dan kepada ustadz Jakfar kuutarakan alasan, “Maaf, Ustadz. Aku takut nikah di akhir zaman seperti ini. Sulitnya mencari wanita shalihah di jaman sekarang sama persis dengan susahnya mencari jarum di tumpukan jerami.” Ya, itu saja penjelasanku. Lebih jelasnya cobalah bertanya kepada Sukran, sahabat yang dulu ketika nyantri sekamar denganku di Asrama Sunan Giri. Dia menjadi korban penghianatan wanita berperangai kurang baik. Pernikahan Sukran dengan Surti berakhir berantakan karena Surti gemar main kucing-kucingan dengan lelaki lain yang jauh lebih tampan, lebih tajir, lebih perfek dan lebih segalanya daripada Sukran. Betapa terenyuh aku mendengarnya. Dan jawaban ini mewakili sekadar 5% dari maksudku. Serta kepada keluarga kulahirkan jawaban, “Aku belum dewasa. Ilmuku masih teramat dangkal untuk menjadi imam. Aku butuh waktu untuk bisa menjadi nahkoda bahtera rumah tangga yang ideal. Mohon ijinkan aku menunda maksud kalian sementara waktu. Aku mohon. Dan maafkan aku!” Aku menyesal, baru kali ini seumur hidup aku kurang setuju dengan keputusan ibu dan saudara. Tapi, jujur suara itu memang bermuara dari dasar hati. Aku belum siap menjalani hidup seatap dengan wanita asing_yang kemudian akan lebih akrab kupanggil istri. Aku butuh waktu sesaat untuk menata hati dan berbagi. *** Satu tahun berikutnya. Saat matahari hendak kembali ke peraduan, sebagaimana biasa aku memikul air dari sumber mata air ke pesantren. Letak sumber tersebut tepat di samping kiri kediaman pengasuh, tapi agak jauh. Butuh sekitar sepuluh menit untuk sampai di sana. Dan tugasku mengambil air adalah untuk dituangkan ke penampungan besar di dapur keluarga pengasuh. Profesi sebagai pemikul air ini telah berlangsung selama dua tahun. Setibanya aku di sumber yang waktu itu tengah sunyi dari hiruk-pikuk santri lain dan penduduk sekitar yang hendak mengambil air, jiwaku dikerumuni ketakjuban. Karena tepat di pinggir barat sumber kutemukan seorang tua berjenggot putih sedang menenggak air putih dari botol beling putih yang bagian bawahnya terlihat hijau. Kulirik sepintas, lalu kuucapkan kalimat keselamatan, kemudian beralih kepada tujuan awal; mengangkut air. Tiba-tiba kakek berbusana dan bersorban putih itu angkat suara, “Namamu Rahman putra almarhum Kiai Haji Hadi, ya?” Seketika aku terlonjak. Bisa-bisanya beliau mengetahui namaku sekaligus mendiang bapak. Hatiku bertanya-tanya, siapa gerangan beliau? Dari mana beliau tahu namaku dan bapak? Belum sempat hatiku melanjutkan serentetan pertanyaan lain, beliau yang duduk bersila di kursi bambu panjang made in santri itu kembali bersuara, “Tidak usah bingung. Tak perlu repot-repot kau cari tahu tentangku. Aku hanya ingin menegaskan bahwa ada yang kurang dalam hidupmu. Kiai Dofir, pengasuh pesantrenmu itu, sudah diberi tahu. Dia sedang menyiapkan sesuatu untukmu.” Air dua timba sudah siap diangkut. Sebelum beranjak ke pesantren, di tengah rasa penasaran yang bersarang di ubun-ubun, kuhampiri beliau dengan perlahan. Kusalami tangan keriputnya. Tak disangka, seusai kusalami, beliau seketika berdiri, mengucap salam, lalu menjauh dari hadapanku. Sekali lagi, perasaan penasaran akan sosok miterius tersebut kian memburu dalam jiwa. Hingga kedua kaki berpijak di bumi pesantren, aku tetap dirundung rasa tak habis pikir. Selang beberapa menit kemudian, setelah kukeluar dari dapur keluarga pengasuh demi merampungkan tugas, tiba-tiba almukarram Kiai Dofir membuka pintu ruang tamu dan memanggilku. Aku segera mendekat memenuhi panggilan beliau. “Aku butuh waktu dan kesedianmu sebentar,” ucap kiai. “Inggih, Kiai,” aku menanggapi dengan kepala tertunduk dan kedua tangan bertumpu di pangkal paha. Kiai melirik kanan-kiri, depan dan belakang. Setelah memastikan suasana terjamin, beliau pun melanjutkan, “Tadi malam aku mimpi. Aku didatangi seorang laki-laki tua berjubah putih. Beliau meminta agar aku menjodohkanmu dengan putri bungsuku, si Zulfa. Insya Allah ini bukan mimpi sekadar mimpi, karena mimpi yang sama telah datang dalam tidurku selama tujuh malam.” Beliau menghela napas. Aku yang mendadak kaget juga menata napas. Beliau kemudian bertanya, “Bagaimana menurutmu, Man?” Aku diam seribu bahasa. Seakan mulutku terkunci untuk merespon. “Apa kamu mau istikharah dulu? Jangan anggap ini harga mati. Silahkan kamu pilih sendiri! Karena aku tak menjamin kamu akan hidup bahagia bila bersanding dengan Zulfa. Semua takdir di tangan Allah. Aku tidak boleh mendahului takdir. Sebagai orang tua, aku hanya berdoa yang terbaik,” tambah beliau dalam kebekuanku. Masih dalam posisi berdiri di depan pintu, aku tetap tak kuasa menjawab. Sungguh aku sangat bingung. Aku merasa sangat tak pantas berpasangan dengan putri kiai. Dan lebih tak masuk akal bila aku tak mengindahkan maksud luhur beliau. Tapi_,,,, Oh Allah, selama ini kucurahkan cinta hanya kepada-Mu, Pemilik Cinta Sejati. Aku hanya mencinta-Mu, sehingga aku meninggalkan waktu untuk memikirkan cinta terhadap selain-Mu. Jika aku membagi cinta kepada mahluk-Mu, aku takut cinta kepada-Mu perlahan terkikis. Namun Ya Allah, jika Engkau mengirimkan wanita shalihah yang terus memantau dan ikut menjaga keterjalinan cintaku kepada-Mu, maka kumohon mudahkan urusannya, bisik batinku. Tak kusangka dan tanpa kuduga dari arah belakang, perempuan setengah tua merangkulku. Tak lain dan tak bukan beliau adalah ibuku tercinta. “Doa ibu selalu untukmu, Nak. Sudah dua hari yang lalu Kiai Dofir beri tahu hal ini kepada ibu. Ibu menangis, Nak. Jujur, ibu nangis sedih karena ibu takut bila hasil istikharahnya tidak bagus. Tapi, Nak, ternyata sekarang ibu menangis bahagia, sebab ternyata hasil istikharahnya sangat bagus untuk dilanjutkan,” tutur ibu penuh gembira.***