Rabu, 11 Maret 2015

Cerpen Januari 2015

Kutemukan Cinta dalam Cinta-Nya Oleh : Fathorrozi Sungguh bukan niat menelantarkan ciptaan Allah. Bukan maksud menyia-nyiakan mahluk-Nya yang bernama wanita. Aku melajang hingga usia berkepala 3 lantaran aku mengantongi maksud tersendiri. Dan aku menyimpannya rapi sampai sekarang. Banyak sahabat dan sebagian ustadz bertanya sebab tak habis pikir dengan jalan yang kutempuh. Memang selama ini hanya kepada buku kucurahkan segala rasa, dan tentunya kuhaturkan pula gejolak ini kepada Rabb dalam setiap helaan napas. Beberapa bulan kemudian, saat jiwa terserang payah dalam menyembunyikan perasaan yang tersimpan rapat sebab desakan-desakan dari banyak pihak, maka lambat laun, sedikit demi sedikit suara terdalamku mulai terungkap. Kepada sahabat kukatakan sambil gurau, “Aku tak mau nikah kalau akhirnya kayak Muhlis. Dia yang kulitnya putih berubah hitam saat nikah karena setiap hari nyabit rumput untuk ternaknya. Jadi, aku tak mau nikah selama belum punya penghasilan tetap. Takut nantinya sengsara, kelaparan. Mau dikasih makan apa anak bini kalau tidak punya kerjaan mapan.” Meski benar, jawaban ini hanya 2% dari alasanku. Dan kepada ustadz Jakfar kuutarakan alasan, “Maaf, Ustadz. Aku takut nikah di akhir zaman seperti ini. Sulitnya mencari wanita shalihah di jaman sekarang sama persis dengan susahnya mencari jarum di tumpukan jerami.” Ya, itu saja penjelasanku. Lebih jelasnya cobalah bertanya kepada Sukran, sahabat yang dulu ketika nyantri sekamar denganku di Asrama Sunan Giri. Dia menjadi korban penghianatan wanita berperangai kurang baik. Pernikahan Sukran dengan Surti berakhir berantakan karena Surti gemar main kucing-kucingan dengan lelaki lain yang jauh lebih tampan, lebih tajir, lebih perfek dan lebih segalanya daripada Sukran. Betapa terenyuh aku mendengarnya. Dan jawaban ini mewakili sekadar 5% dari maksudku. Serta kepada keluarga kulahirkan jawaban, “Aku belum dewasa. Ilmuku masih teramat dangkal untuk menjadi imam. Aku butuh waktu untuk bisa menjadi nahkoda bahtera rumah tangga yang ideal. Mohon ijinkan aku menunda maksud kalian sementara waktu. Aku mohon. Dan maafkan aku!” Aku menyesal, baru kali ini seumur hidup aku kurang setuju dengan keputusan ibu dan saudara. Tapi, jujur suara itu memang bermuara dari dasar hati. Aku belum siap menjalani hidup seatap dengan wanita asing_yang kemudian akan lebih akrab kupanggil istri. Aku butuh waktu sesaat untuk menata hati dan berbagi. *** Satu tahun berikutnya. Saat matahari hendak kembali ke peraduan, sebagaimana biasa aku memikul air dari sumber mata air ke pesantren. Letak sumber tersebut tepat di samping kiri kediaman pengasuh, tapi agak jauh. Butuh sekitar sepuluh menit untuk sampai di sana. Dan tugasku mengambil air adalah untuk dituangkan ke penampungan besar di dapur keluarga pengasuh. Profesi sebagai pemikul air ini telah berlangsung selama dua tahun. Setibanya aku di sumber yang waktu itu tengah sunyi dari hiruk-pikuk santri lain dan penduduk sekitar yang hendak mengambil air, jiwaku dikerumuni ketakjuban. Karena tepat di pinggir barat sumber kutemukan seorang tua berjenggot putih sedang menenggak air putih dari botol beling putih yang bagian bawahnya terlihat hijau. Kulirik sepintas, lalu kuucapkan kalimat keselamatan, kemudian beralih kepada tujuan awal; mengangkut air. Tiba-tiba kakek berbusana dan bersorban putih itu angkat suara, “Namamu Rahman putra almarhum Kiai Haji Hadi, ya?” Seketika aku terlonjak. Bisa-bisanya beliau mengetahui namaku sekaligus mendiang bapak. Hatiku bertanya-tanya, siapa gerangan beliau? Dari mana beliau tahu namaku dan bapak? Belum sempat hatiku melanjutkan serentetan pertanyaan lain, beliau yang duduk bersila di kursi bambu panjang made in santri itu kembali bersuara, “Tidak usah bingung. Tak perlu repot-repot kau cari tahu tentangku. Aku hanya ingin menegaskan bahwa ada yang kurang dalam hidupmu. Kiai Dofir, pengasuh pesantrenmu itu, sudah diberi tahu. Dia sedang menyiapkan sesuatu untukmu.” Air dua timba sudah siap diangkut. Sebelum beranjak ke pesantren, di tengah rasa penasaran yang bersarang di ubun-ubun, kuhampiri beliau dengan perlahan. Kusalami tangan keriputnya. Tak disangka, seusai kusalami, beliau seketika berdiri, mengucap salam, lalu menjauh dari hadapanku. Sekali lagi, perasaan penasaran akan sosok miterius tersebut kian memburu dalam jiwa. Hingga kedua kaki berpijak di bumi pesantren, aku tetap dirundung rasa tak habis pikir. Selang beberapa menit kemudian, setelah kukeluar dari dapur keluarga pengasuh demi merampungkan tugas, tiba-tiba almukarram Kiai Dofir membuka pintu ruang tamu dan memanggilku. Aku segera mendekat memenuhi panggilan beliau. “Aku butuh waktu dan kesedianmu sebentar,” ucap kiai. “Inggih, Kiai,” aku menanggapi dengan kepala tertunduk dan kedua tangan bertumpu di pangkal paha. Kiai melirik kanan-kiri, depan dan belakang. Setelah memastikan suasana terjamin, beliau pun melanjutkan, “Tadi malam aku mimpi. Aku didatangi seorang laki-laki tua berjubah putih. Beliau meminta agar aku menjodohkanmu dengan putri bungsuku, si Zulfa. Insya Allah ini bukan mimpi sekadar mimpi, karena mimpi yang sama telah datang dalam tidurku selama tujuh malam.” Beliau menghela napas. Aku yang mendadak kaget juga menata napas. Beliau kemudian bertanya, “Bagaimana menurutmu, Man?” Aku diam seribu bahasa. Seakan mulutku terkunci untuk merespon. “Apa kamu mau istikharah dulu? Jangan anggap ini harga mati. Silahkan kamu pilih sendiri! Karena aku tak menjamin kamu akan hidup bahagia bila bersanding dengan Zulfa. Semua takdir di tangan Allah. Aku tidak boleh mendahului takdir. Sebagai orang tua, aku hanya berdoa yang terbaik,” tambah beliau dalam kebekuanku. Masih dalam posisi berdiri di depan pintu, aku tetap tak kuasa menjawab. Sungguh aku sangat bingung. Aku merasa sangat tak pantas berpasangan dengan putri kiai. Dan lebih tak masuk akal bila aku tak mengindahkan maksud luhur beliau. Tapi_,,,, Oh Allah, selama ini kucurahkan cinta hanya kepada-Mu, Pemilik Cinta Sejati. Aku hanya mencinta-Mu, sehingga aku meninggalkan waktu untuk memikirkan cinta terhadap selain-Mu. Jika aku membagi cinta kepada mahluk-Mu, aku takut cinta kepada-Mu perlahan terkikis. Namun Ya Allah, jika Engkau mengirimkan wanita shalihah yang terus memantau dan ikut menjaga keterjalinan cintaku kepada-Mu, maka kumohon mudahkan urusannya, bisik batinku. Tak kusangka dan tanpa kuduga dari arah belakang, perempuan setengah tua merangkulku. Tak lain dan tak bukan beliau adalah ibuku tercinta. “Doa ibu selalu untukmu, Nak. Sudah dua hari yang lalu Kiai Dofir beri tahu hal ini kepada ibu. Ibu menangis, Nak. Jujur, ibu nangis sedih karena ibu takut bila hasil istikharahnya tidak bagus. Tapi, Nak, ternyata sekarang ibu menangis bahagia, sebab ternyata hasil istikharahnya sangat bagus untuk dilanjutkan,” tutur ibu penuh gembira.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar